Membuka Komunikasi Kembali

“Doaku, semoga harapan yang terapal dalam setiap doa dan sujud panjang menjadi kenyataan.”

***
Pukul 1 siang, Madinah

“Assalamu’alaikum, maaf ganggu waktunya. Ini nomor Saya yang baru. Mohon disimpan ya.”

Teks singkat ini telah menghabiskan setengah jamku. Diketik, dihapus lagi, ketik lagi, hapus lagi. Mencari padanan kata yang tepat. Juga mengumpulkan keberanian untuk mengirimkannya.

Centang satu…
Centang dua…

” Yes, terkirim…” meski hati sudah tidak karuan lagi, tapi setidaknya membuatku sedikit lega. Bisa memulai kembali komunikasi meski terhalang jarak yang jauh.

Perbedaan waktu yang tidak terlalu jauh, semoga tidak mengganggu aktivitas di Minggu paginya. Pikirku dalam hati.

Mengapa baru kali ini berinteraksi dengan perempuan bikin grogi. Biasanya perempuan yang salah tingkah kalau sudah dapat sms atau whatsapp dariku, kenapa sekarang malah kebalikannya?

“Ya Rabb… pertanda apa ini?”, gumamku dalam hati.

Alhamdulillah setelah tiba sejak kemarin, perjalanan panjang yang cukup menguras tenaga, Aku teruskan untuk beristirahat seharian setelah mengabari Ibu dan Ayah serta keluarga di Jakarta.

Kembali ke rutinitas menuntut ilmu, bertemu teman, dan para guru membuatku tidak sabar untuk mengikuti kelas di tingkat akhir ini.

Dan ada yang membuatku semakin bersemangat untuk menyelesaikan studiku adalah ingin segera kembali ke Jakarta, menuntaskan rencana yang telah kutulis dalam hati, akal, dan dirapalkan dalam setiap sujud panjang dan doa-doa.

“Mau makan apa ya Akhi?”, Alif memecah lamunanku, langsung menodongku untuk segera memilih makanan sejak tadi telah duduk di restoran pilihan kami siang ini.

Maklum masih punya banyak uang hasil liburan 3 bulan bisa digunakan untuk biaya hidup di sini. Jadilah hari pertama kami makan dengan memilih restoran mewah dan tentu rekomendasi terbaik untuk mengobati rasa rindu akan tanah Arab yang selalu menyisakan kerinduan di lubuk hati terdalam.

MasyaAllah, tanah haram, tempat Nabi Saw berjuang dan memulai menyebarkan Islam, yang akhirnya menjadi cikal bakal salah satu agama dengan pengikut terbanyak di dunia. Bahkan akan terus bertambah hingga masa dunia ini berakhir.

Bersyukur sekali bisa Allah berikan kesempatan untuk menuntut ilmu di tempat yang suci ini.

“Gimana Ustaz, sudah tentukan mau makan apa?”, untuk kedua kalinya Alif memecah lamunanku.

“Astagfirullah, afwan akhi, ane kurang fokus nih. Ane mau nasi biryani dan kambingnya aja ya Akhi”, jawabku cepat. Jangan sampai jurus ceramahnya keluar karena melihat tingkahku yang sering melamum akhir-akhir ini.

Alif segera memesan sambil membayar langsung pesanan. Agar bisa tenang saat menyantap makanan.

Tidak lama, makanan yang kami pesan akhirnya tiba juga. Memakan dengan lahap, khusyuk dengan makanan dan pikiran masing-masing.

***

Pukul 08.00 pagi, Jakarta

Sepagi ini rutinitasku sama seperti minggu-minggu biasanya. Pertemuan rutin bersama teman-teman yang diisi dengan kegiatan bermanfaat seperti sharing tentang kehidupan, membaca buku, dan bahkan membahas topik terhangat tentang politik atau isu-isu terkini yang ada di masyarakat.

Hal yang sudah jadi rutinitas sejak aku kuliah tingkat satu dahulu. Dan berlanjut hingga sekarang, sudah dua tahun pasca lulus kuliah.

Bersyukur, meski kadang ada bosannya di saat yang lain bisa santai di minggu pagi. Sedangkan aku, menghabiskan waktu 2 jam di pagi hari untuk kegiatan yang bisa menjadi charger bagi ruhiyah dan akal.

Meski Ibuku seringkali mengomel, karena khawatir melihat kesibukanku yang tidak pernah ada habisnya.

“Raa, kamu gak capek setiap minggu gak ada istirahatnya. Selalu ada aja kegiatan di luar rumah.” Tanya ibuku hati-hati.

“Mumpung masih muda Bu. Nayra mau gunakan waktunya untuk belajar ilmu agama dengan baik dan menekuni banyak hal yang sesuai dengan minat Ayra. Nanti kalau udah sibuk sama hal lain, pasti akan ada prioritas.” Tegasku sambil mengambil air minum di atas meja.

“Iya aktivitas boleh Ra, Ibu paham banget kamu memang aktivis. Tapi harus bisa bagi waktu untuk istirahat. Kesehatan itu penting lho…” Jelas Ibu sambil mewadahi nasi goreng ke dalam piring.

Aku hanya tersenyum dan segera melahap nasi goreng buatan Ibu. Entah sampai kapan aku paham skala prioritas, dan memulai menerapkannya dalam kehidupan. Ternyata tidak semudah yang dibayangkan.

Aku berpamitan menyalami tangan ibu dan mengucapkan salam. Bergegas menuju tempat pertemuan.

***


Pesan Whatsapp di notifikasi gawaiku menunjukkan nomor baru, yang belum kukenali. Tapi itu jelas bukan nomor Whatsapp Indonesia.

Sempat tertegun beberapa menit, aku belum berani membuka gawaiku. Aku pikir lebih baik fokus pertemuan dahulu, nanti saja akan kubalas kalau sudah di rumah atau tidak ada aktivitas lagi.

Pertemuan kali ini berlangsung cepat tanpa terasa. Diskusi-diskusi tentang isu kekinian semakin menambah wawasanku. Apalagi bekerja sebagai tim redaksi majalah Islam, tentu aku dituntut update kondisi terkini.

Bersyukurnya aku punya komunitas yang mendukung pekerjaan.

“Raa, habis ini mau kemana?” Tanya Rahma sambil tersenyum.

“Oh aku mau langsung pulang Ma, soalnya Ibuku tadi pesan harus langsung pulang disuruh istirahat.” Ungkapku sambil tersenyum.

“Tumben banget, gak asik nih, padahal mau ngajakin kamu kulineran.” Selorohnya sambil memicingkan matanya.

Tapi memang akhir-akhir ini aku selalu mencari alasan untuk menghabiskan banyak waktu di rumah. Entah sejak kapan prioritas hidupku mulai berubah sedikit demi sedikit.

“Sorry banget Ma, next aja ya kalau aku ga mager.” jawabku sambil berpamitan.

Rahma menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum penuh arti.

***


Sesampainya di rumah, aku langsung membuka gawai. Dengan hati berdebar aku buka perlahan chat whatsapp-nya.

1 pesan  whatsapp.
“Assalamu’alaikum, maaf ganggu waktunya. Ini nomor Saya yang baru. Mohon disimpan ya.”

Terdiam sesaat, pikiranku disibukkan dengan banyak pertanyaan. Siapa, ada apa, kenapa, ada perlu apa, pentingkah? Aku mulai membuka profil  Whatsapp-nya. Dan langsung tahu siapa yang mengirimiku pesan. 

“Wa’alaikumsalam warhamatullah, baik Ustaz.” Segera kukirimkan jawaban dari permintaannya untuk menyimpan nomor barunya.

Pikiranku kembali menerawang, kalau bukan amanah dakwah di komunitas yang sama, mungkin Ia tidak akan sibuk-sibuk mengirim pesan sepagi ini kepadaku. 

Lamunanku terhenti, karena muncul kembali notifikasi pesan whatsapp yang masuk.  

1 pesan Whatsapp baru
Rayyan: “Oh ya, gimana Indonesia, udah lebih aman?”*

Ah iya hampir lupa, kondisi Indonesia saat ini sedang panas-panasnya, pasca seorang pejabat diduga menghina ayat Al-Qur’an dalam pidatonya saat kunjungan tugas wilayah. Membuat semua muslim di Indonesia geram dan bereaksi mengutuknya.

Nayra: “Masih seperti yang Ustaz lihat terakhir kali. Mungkin juga akan lebih massif umat Islam dengan melakukan demo besar-besaran.” Jawaban yang segera kukirim padanya.

Rayyan: “Semoga Allah menolong umat Islam dan menghinakan orang-orang yang menghina dan mengutuk Islam.”

Nayra: “Aamiin yaa Rabb”

Akhirnya percakapan singkat itu berakhir.

***


Rayyan dan Nayra berada di komunitas diskusi dan komunitas dakwah pemuda yang sama. Mereka banyak berinteraksi karena circle yang sama. Hampir setiap pekan selalu ada diskusi publik meski online. Dan itu semua jadi membuka ruang keduanya semakin dekat. Berinteraksi dan berkoordinasi tentang kegiatan komunitas, atau diskusi di grup terkait kebijakan pemerintahan atau isu-isu terkini politik.

“Raa… makan dulu sana.” panggilan ibu memecahkan lamunanku.

“Iya Bu.” Jawabku singkat sambil berjalan ke dapur untuk mengambil makanan.

***


Meski waktu 1 tahun tidak lah sebentar, semoga komunikasi dengannya tidak terputus. Ada perasaan lega saat Ia membalas pesanku dan bisa memulai kembali komunikasi yang sempat memburuk di detik-detik keberangkatanku.

Semoga harapan yang terapal dalam setiap doa dan sujud panjang menjadi kenyataan.

Adzan maghrib berkumandang di Kota Nabi ini, begitu indah terdengar…

About diahazzahrayan

Biarlah yang besar itu karyamu, bukan dirimu. Biarlah yang tinggi itu capaianmu, bukan hatimu_ Salim A Fillah
This entry was posted in Jeda Serupa Senja and tagged , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment